PERNIKAHAN BEDA
AGAMA DALAM PERSPEKTIF AGAMA DAN
IDEOLOGI BANGSA
A. Pendahuluan
Negara Indonesia merupakan negara dengan wilayah
yang luas dan terbentuk dari ribuan pulau dari Sabang sampai Merauke. Dalam
wilayah yang luas dan banyak terpisahkan oleh lautan itu, hidup
golongan-golongan masyarat yang berbeda latar belakang satu sama lain. Di dalam
kondisi masyarakat Indonesia yang beragam tersebut, baik dari segi budaya,
suku, ras, agama, kontak antar satu golongan masyarakat satu dengan yang lain
sudah tentu tidak dapat dihindarkan. Kontak antar masyarakat yang berbeda latar
belakang ini pada kemudian hari menimbulkan adanya suatu fenomena dalam
masyarakat yaitu berupa perkawinan campuran. Salah satu perkawinan campuran
yang paling banyak mengundang perdebatan adalah perkawinan campuran antara
pasangan yang memiliki agama yang berbeda. Masalahnya, dengan perkawinan beda
agama akan terjadi suatu perbedaan prinsipil dalam perkawinan itu sehingga
dikhawatirkan akan menimbulkan berbagai masalah yang rumit untuk diselesaikan
di kemudian hari. Oleh karena itu kemudian hal ini banyak mendapat tentangan
dari masyarakat luas, tetapi juga oleh hukum positif di negara kita serta hukum
agama yang mereka anut. Walau tidak dapat dipungkiri ada saja pihak yang pro
terhadap keberadaan perkawinan beda agama ini.
Masalah ini tampil kepermukaan, terlebih setelah
terbitnya buku Fikih Lintas Agama (FLA) yang disusun oleh Nurcholish
Madjid dkk, disusul kemudian dengan munculnya buku Counter Legal Draft
Kompilasi Hukum Islam (CLD KHI) yang disusun oleh Tim LKAJ Departemen Agama RI
yang dipelopori oleh Siti Musdah Mulia. Dalam ‘kitabnya’ mereka membolehkan
wanita muslimah dinikahi oleh lelaki Ahli Kitab, dengan alasan tidak ada
larangan yang sharih (jelas dan tegas). Yang ada justru hadits yang
tidak begitu jelas kedudukannya.
“soal pernikahan laki-laki non muslim dengan
wanita muslimah merupakan wilayah ijtihadi dan terikat dengan konteks
tertentu, diantaranya konteks dakwah Islam pada saat itu. Yang mana
jumlah umat Islam tidak sebesar saat ini, sehingga pernikahan antar
agama merupakan sesuatu yang terlarang. Karena kedudukannya sebagai
hukum yang lahir atas proses ijtihad, maka amat dimungkinkan bila
dicetuskan pendapat baru, bahwa wanita muslim boleh menikah dengan pria
non muslim, atau pernikahan beda agama secara lebih luas amat
dibolehkan, apapun agamanya dan aliran kepercayaannya. Hal ini merujuk
pada semangat al Qur’an itu sendiri”. (Fikih Lintas Agama, hlm : 164)
Berdasarkan permasalahan tersebut diatas, Penulis
tertarik untuk membahas lebih dalam mengenai pernikahan beda agama, dalam
makalah ini akan dipaparkan analisis, pandangan agama-agama, dan tentunya
Pancasila sebagai ideologi bangsa tentang pernikahan beda agama ini, disamping
itu, makalah ini akan coba membahas selintas tentang konsep syarat sahnya nikah
menurut agama-agama yang sudah resmi diakui oleh pemerintah Indonesia.
B. Pernikahan Beda
Agama Dalam Pandangan Agama di Indonesia
Berikut ini akan dipaparkan selintas konsep
perbikahan menurut agama – agama, khususnya agama yang sudah diakui oleh
Pemerintah, yakni Katholik, Protestan, Hindu, Budhha, Khonghucu dan Islam. Hal
ini sangat penting untuk mengetahui konsep dasar boleh atau tidaknya nikah yang
berbeda agama tersebut.
1. Agama Katolik
Menurut agama Katolik, perkawinan adalah
persekutuan hidup antara dua pribadi, seorang pria dan wanita yang saling
mengikat diri atas dasar cinta kasih yang total, psikologis, biologis, sosial,
ekonomis, demi penyempurnaan dan perkembangan pribadi masing-masing serta demi
kelangsungan umat manusia.
Menurut agama Katolik, pernikahan dipandang sah
apabila memenuhi persyaratan sebagai berikut : 1) Bebas dari halangan-halangan
kanonik. Yakni 12 point jenis halangan, salah satunya adalah tidak
seiman/seagama, sebagaimana yang sudah dirumuskan dalam KHK
1983. 2) Adanya konsensus atau kesepakatan
nikah, yaitu kemauan pria dan wanita saling menyerahkan diri dan saling
menerima untuk membentuk perkawinan dengan perjanjian yang tak dapat ditarik
kembali. Namun, Konsensus tersebut bisa cacat oleh faktor-faktor yang dapat
merusaknya. 3) Dirayakan dalam forma canonika, artinya perkawinan harus
dirayakan dihadapan tiga orang, yakni petugas resmi gereja sebagai peneguh, dan
dua orang saksi.
Perkawinan dalam Katolik memiliki beberapa tujuan,
meskipun ada pendapat yang berbeda dalam merumuskan tujuan perkawinan ini.
Tujuan perkawinan menurut agama Katolik yang utama adalah untuk menciptakan
kesejahteraan suami isteri. Setelah itu baru kelahiran anak.
2. Kristen Protestan
Pengertian perkawinan menurut agama protestan
adalah suatu persekutuan hidup dan percaya total, eksklusif dan kontinyu antara
seorang pria dan seorang wanita yang dikuduskan dan diberkati oleh oleh Kristus
Yesus. Pernikahan sebagai soal agama, hukum tuhan, agar pernikahan tersebut sesuai
dengan kehendak tuhan yang menciptakan pernikahan itu. Syaratsyarat perkawinan
menurut agama Kristen Protestan adalah : 1) Masing - masing calon mempelai
tidak terikat tali perkawinan dengan pihak lain; 2) Kedua mempelai beragama
Kristen Protestan (agar perkawinan tersebut dapat diteguhkan dan diberkati); 3)
Kedua calon mempelai harus sudah ”sidi” (sudah dewasa); 4) Harus dihadiri dua
orang saksi; 5) Harus disaksikan oleh jemaat.
Apabila dapat disimpulkan maka perkawinan menurut
agama Kristen Protestan menghendaki perkawinan itu adalah perkawinan antara
sesama umat agama Kristen Protestan. Karena itulah agama Kristen Protestan
melarang untuk berpoligami dan menikah dengan orang lain yang beragama lain.
3. Agama Hindu
Dalam agama Hindu di Bali istilah perkawinan biasa
disebut Pawiwahan. Pengertian Pawiwahan itu sendiri dari sudut pandang
etimologi atau asal katanya, kata pawiwahan berasal dari kata dasar “ wiwaha”.
Wiwaha atau perkawinan dalam masyarakat hindu memiliki kedudukan dan
arti yang sangat penting, dalam catur asrama wiwaha termasuk
kedalam Grenhastha Asrama. Disamping itu dalam agama Hindu, wiwaha
dipandang sebagai sesuatu yang maha mulia, seperti dijelaskan dalam kitab Manawa
Dharmasastra bahwa wiwaha tersebut bersifat sakral yang hukumnya
wajib, dalam artian harus dilakukan oleh seseorang yang normal sebagai suatu
kewajiban dalam hidupnya.
Adapun syarat-syarat wiwaha dalam agama Hindu
adalah : 1) Perkawinan dikatakan sah apabila dilakukan menurut ketentuan hukum
hindu. 2) Untuk mengesahkan perkawinan menurut hukum hindu harus dilakukan oleh
pendeta/rohaniawan atau pejabat agama yang memenuhi syarat untuk melakukan
perbuatan itu. 3) Suatu perkawinan dikatakan sah apabila kedua calon mempelai
telah menganut agama hindu. 4) Berdasarkan tradisi yang berlaku di Bali,
perkawinan dikatakan sah setelah melaksanakan upacara byakala/biakaonan sebagai
rangkaian upacara wiwaha. 5) Calon mempelai tidak terikat oleh suatu
pernikahan. 6) Tidak ada kelainan, seperti tidak banci, kuming (tidak pernah
haid), tidak sakit jiwa atau sehat jasmani dan rohani. 7) Calon mempelai cukup
umur, pria berumur 21 tahun, dan wanita minimal 18 tahun. 8) Calon mempelai
tidak mempunyai hubungan darah dekat atau sepinda. Jadi, sah atau tidaknya
suatu perkawinan menurut agama Hindu terkait dengan sesuai atau tidak dengan
persyaratan yang ada dalam agama.
4. Agama Buddha
Agama Buddha mendefinisikan perkawinan sebagai
ikatan suci yang harus dijalani dengan cinta dan kasih sayang seperti yang
diajarkan Budha. Perkawinan adalah ikatan lahir dan batin dua orang yang
berbeda kelamin, yang hidup bersama untuk selamanaya dan bersama-sama
melaksanakan Dharma Vinaya untuk mendapatkan kebahagiaan dalam kehidupan
sekarang ini dan kehidupan yang akan datang.
Perkawinan antar agama di mana salah seorang calon
mempelai tidak beragama Budha, menurut keputusan Sangha Agung Indonesia
diperbolehkan, asal pengesahan perkawinannya dilakukan menurut cara agama
Budha. Dalam hal ini calon mempelai yang tidak bergama Budha, tidak diharuskan
untuk masuk agama Budha terlebih dahulu. Akan tetapi dalam upacara ritual
perkawinan, kedua mempelai diwajidkan mengucapkan “atas nama Sang Budha, Dharma
dan Sangka” yang merupakan dewa-dewa umat Budha.
Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa agama
Budha tidak melarang umatnya untuk melakukan perkawinan dengan penganut agama
lain. Akan tetapi kalau penganut agama lainnya maka harus dilakukan menurut
agama Budha.
Di samping itu, dalam upacara perkawinan itu kedua
mempelai diwajibkan untuk mengucapkan atas nama Sang Budha, Dharma dan Sangka,
ini secara tidak langsug berarti bahwa calon mempelai yang tidak beragama Budha
menjadi penganut agama Budha, walaupun sebenarnya ia hanya menundukkan diri
pada kaidah agama Budha pada saat perkawinan itu dilangsungkan. Untuk
menghadapi praktek perkawinan yang demikian mungkin bagi calon mempelai yang
tidak beragama Budha akan merasa keberatan.
5. Agama Khonghucu
Dalam ajaran agama Khonghucu perkawinan adalah,
ikatan lahir batin antara seorang pria dan seorang wanita dengan tujuan untuk
membentuk keluarga (rumah tangga yang bahagia), dan melangsungkan keturunan
berdasarkan Ketuhanan Yang maha Esa. Tujuan perkawinan dalam agama Konghucu di
Indonesia ialah memungkinkan manusia melangsungkan sejarahnya dan mengembangkan
benih-benih Thian (Tuhan Yang Maha Esa), berwujud kebajikan yang bersemayam di
dalam dirinya, dan memungkinkan manusia membimbing putra-putrinya. Pengertian
perkawinan Menurut Konghucu dapat ditemukan dalam Kitab LI JI buku XLI :
1 & 3 tentang Hun Yi (kebenaran makna upacara pernikahan),
dinyatakan bahwa upacara pernikahan bermaksud akan menyatu-padukan benih
kebaikan/ kasih antara dua manusia yang berlainan keluarga; keatas mewujudkan
pengabdian kepada Tuhan dan leluhur (zong Miao),dan ke bawah meneruskan
generasi.
Majelis Tinggi Agama Konghucu Indonesia (MATAKIN)
melalui Musyawarah Nasional Rokhaniwan Agama Konghucu se Indonesia yang
diselenggarakan di Tangerang, pada tanggal 21 Desember 1975 telah mensahkan
Hukum perkawinan Agama Konghucu Indonesia yang mengatur tentang pelaksanaan
upacara peneguhan perkawinan bagi umat Konghucu. Adapun syarat-syarat
perkawinan bagi umat Konghucu : 1) Umur untuk wanita 16 tahun, sedangkan umur
untuk pria 19 tahun, atau dengan pertimbangan lain. 2) Ada persetujuan dari
kedua mempelai tanpa ada unsure paksaan. 3) Kedua calon mempelai tidak atau
belum terkait dengan pihak-pihak lain yang dianggap sebagai hidup berumah
tangga atau berkeluarga. 4) Kedua calon mempelai wajib melaksanakan pengakuan
iman. Peneguhannya dilaksanakan di tempat ibadah umat Konghucu (Lithang). 5)
Mendapat persetujuan dari kedua orang tua, baik orang tua pihak laki-laki
maupun pihak perempuan atau walinya. 6) Disaksikan oleh dua orang saksi.
6. Agama Islam
Pandangan Agama Islam terhadap perkawinan antar
agama, pada prinsipnya tidak memperkenankannya. Dalam Alquran dengan tegas
dilarang perkawinan antara orang Islam dengan orang musrik seperti yang
tertulis dalam Al-Quran yang berbunyi :
“Janganlah kamu nikahi wanita-wanita musrik
sebelum mereka beriman. Sesungguh nya wanita budak yang mukmin lebih
baik dari wanita musyrik, walupun dia menarik hati. Dan janganlah kamu
menikahkah orang musyrik (dengan wanita-wanita mukmin) sebelum mereka beriman.
Sesungguhnya budak yang mukmin lebih baik daripada orang musyrik, walaupun dia
menarik hatimu”. (Al-Baqarah [2]:221)
Larangan perkawinan dalam surat al-Baqarah ayat 221
itu berlaku bagi laki-laki maupun wanita yang beragama Islam untuk kawin dengan
orang-orang yang tidak beragama Islam.
B. Pernikahan Beda Agama Dalam Pandangan
Ideologi Bangsa
Menurut UU No. 1 Tahun 1974 tentang perkawinan,
yang dalam pasal 1 berbunyi: “Perkawinan adalah ikatan lahir batin antara
seseorang pria dan seorang wanita sebagai suami istri dengan tujuan
membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan
Ketuhanan Yang Maha Esa”. Selanjutnya dalam pasal 2 ayat 1 dinyatakan: “Perkawinan
adalah sah apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agama dan kepercayaan
itu”.
Dalam penjelasan atas pasal 1 disebutkan : “Sebagai
negara yang berdasarkan Pancasila, dimana sila pertama adalah Ketuhanan Yang
Maha Esa, maka perkawinan mempunyai hubungan yang erat sekali dengan
agama/kerohanian, sehingga perkawinan bukan saja mempunyai unsur lahir/jasmani,
tetapi unsur batin/rohani juga mempunyai peranan yang penting. Membentuk
keluarga yang bahagia rapat hubungan dengan keturunan, yang merupakan tujuan
perkawinan, pemeliharaan dan pendidikan menjadi hak dan kewajiban orang tua.
Sedang dalam penjelasan atas pasal 2 ayat 1
dinyatakan : “Dengan perumusan pada pasal 2 ayat 1 ini, tidak ada perkawinan
diluar hukum perkawinan masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu sesuai
dengan UUD 1945”. Yang dimaksud dengan hukum masingmasing agamanya dan
kepercayaannya itu termasuk ketentuan perundang-undangan yang berlaku bagi
golongan agama dan kepercayaannya itu sepanjang tidak bertentangan atau tidak
ditentukan lain dalam UU ini.
Adanya ketentuan dalam pasal 2 ayat 1, “Bahwa
sahnya perkawinan apabila dilakukan oleh masing-masing agamanya dan
kepercayaanya itu” dan dalam penjelasan atas pasal tersebut ditegaskan,
bahwa tidak ada perkawinan diluar hukum masing-masing agamanya, jelas bahwa
perkawinan antar agama tidak sah dan tidak diakui di Indonesia.
Ketentuan tetrsebut tidak melanggar HAM bagi mereka
yang berlainan agama untuk melakukan perkawinan, kerena masing-masing pihak
dapat menggunakan haknya untuk PINDAH AGAMA yang sama dengan calon suami atau
calon istri yang dipilihnya dan selanjutnya melakukan perkawinan menurut agama
yang telah mereka sepakati bersama.
Membuat ketentuan untuk melegalisasikan perkawinan
antar agama berarti membirkan orang untuk merusak integritas masing-masing
agama serta bertentangan dengan kesadaran hukum dan keyakinan hukum bangasa
Indonesia dan tentu saja bertentangan dengan PANCASILA dan UUD 1945 serta UU.
No. 1 Tahun 1997 tetang Perkawinan.
E. Kesimpulan
Pernikahan lintas agama yang ditawarkan oleh para
pengusung pluralisme, dan liberalisme, ternyata bertentangan dengan hukum
perkawinan yang dimilki oleh tiap - tiap agama dan undang - undang yang berlaku
di Indonesia. Ini terbukti dengan adanya hukum larangan melaksanakan perkawinan
tiap agama. Kenyataan ini sangat logis, karena tiap agama memandang bahwa
perkawinan bukan hanya sekedar hubungan sosial dan keperdataan semata, tetapi
juga ada hubungan teologi yang diyakini oleh penganutnya masing-masing.
Pandangan agama-agama mengenai nikah beda agama dapat disimpulkan bahwa, (1)
Agama Katholik pada prinsipnya melarang dilakukannya perkawinan antar agama,
kecuali dalam hal-hal tertentu Uskup dapat memberikan dispensasi untuk
melakukan perkawinan antaragama; (2) Agama Protestan membolehkan dilakukannya
perkawinan antaragama dengan syarat bahwa pihak yang bukan Protestan harus
membuat surat pernyataan tidak berkeberatan perkawinannya dilangsungkan di
gereja Protestan, dan (3) Agama Hindu melarang dilakukannya perkawinan
antaragama. dan (4) Buddha, membolehkan penganutnya untuk melaksanakan
perkawinan beda agama, dengan syarat pernikahan harus dilakukan secara buddha
dan mengucapkan janji dengan menyebut nama dewa-dewa, (5) Khonghucu membolehkan
umatnya untuk menikah dengan penganut agama lain, dan (6) Islam dengan sangat
tegas melarang pernikahan anatara laki-laki dan perempuan untuk menikah dengan
penganut agama lain. Begitu pula dengan undang – undang yang berlaku di
Indonesia, menurut UU. No. 1 Tahun 1997 tetang Perkawinan Pasal 2 ayat 1 telah
jelas tertulis perkawinan harus sesuai masing – masing hukum agama, sedangkan
agama yang diakui di Indonesia tidak memperbolehkan pernikahan beda agama.
Wallahu ‘Alam Bisshowab
Tidak ada komentar:
Posting Komentar